Ramadhan Membentuk Ketaqwaan Sosial

Ramadhan Membentuk Ketaqwaan Sosial
Alhamdulillah, Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa mengijabah do’a kita. Terhitung 1 Rajab, kita selalu berdo’a agar Allah memberikan keberkahan kepada kita di bulan Rajab dan Sya’ban dan memberikan kita kesempatan untuk beribadah secara maksimal di bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan adalah kesempatan yang sangat berharga bagi seluruh hamba Allah untuk lebih dekat kepada-Nya dan memperbanyak ibadah. Bagaimana tidak, kita mengenal bulan Ramadhan dengan Syahr Al-Shiyaam, Syahr Al-Qur’an, Syahr al-Ghufran wa Al-Rahmah, Syahr al-Qiyam dan banyak julukan mulia lainnya yang melekat.
Hampir 24 jam raga dan jiwa kita terpaut kepada Allah. Siangnya kita berpuasa dan memperbanyak membaca Al-Qur’an. Malamnya kita isi dengan Qiyam al-Lail. Masjid semarak dengan kajian dan bahasan agama. Energi ibadah betul-betul menyatu. Obrolan yang sehari-hari tidak luput dari ghibah dan ngalor ngidul tak karuan, kini harus dijaga dan lebih banyak dihiasi dengan dzikir dan qira’at Al-Qur’an. Keseharian kita yang terkadang tersita dengan makan siang, kini tidak lagi terpikirkan. Makan siang diganti dengan mendengarkan Kuliah Zuhur. Ya Allah, betapa nikmat I’tikaf bersama-sama saudara kita di masjid. Al-Qur’an begitu semarak terdengar di rumah-rumah, di masjid, bahkan terkadang di ruang-ruang kantor. Ya Allah, begitu syahdu Ramadhan-Mu. Sedekah begitu ringan di bulan-Mu yang mulia ini. Pantas saja hamba-hamba-Mu meminta agar diberikan kesempatan menikmati syahdunya ibadah di Ramdhan Kariim. Belum lagi penantian yang begitu menggebu untuk meraih Lailat Al-Qadr di antara 10 malam terakhir. Jarang sekali kami makan bersama orang terdekat dan kawan-kawan kami seiman selain di bulan ini. Ma Sya Alah, begitu lekat dan indahnya kebersamaan kami di bulan-Mu teramat syahdu ini !
Sadar atau tidak sadar, banyak sekali hikmah yang bisa diambil dari berkahnya bulan ini. Puasa sunnah seperti Senin dan Kamis, Ayyamul Bidh dan lainnya hanya bisa dilakukan bagi mereka yang umumnya memang rajin ibadah. Yang namanya sunnah tentu tidak dilakukan oleh setiap orang. Berbeda dengan Ramadhan, seluruh hamba Allah baik yang rajin atau kurang rajin ibadah, ahli tha’at atau ma’shiyat, besar atau kecil, rakyat jelata maupun pejabat, awam ataupun alim, pria maupun wanita, semuanya “dipaksa” oleh Allah untuk berpuasa sebulan penuh agar mereka menjadi orang yang bertaqwa. ‘Paksaan” tersebut tentunya tidak berlaku bagi mereka yang berhalangan menurut syara’. Puasa sunnah hanya membentuk keshalehan dan ketakwaan pribadi. Berbeda dengan Puasa Ramadhan sebulan penuh yang seharusnya membentuk ketakwaan dan keshalehan sosial.
Tapi sayangnya, momen indah ini tidak seluruhnya dimanfaatkan oleh umat Islam. Kebanyakan puasa dilakukan hanya dalam makna “Al-Shiyam” dalam kontek fiqih sebagaimana teks-teks Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Andaikan mayoritas umat Islam melakukan “Al—Shaum” In Sya Allah ketakwaan dan keshalehan sosial bisa terwujud.
Al-Qur’an memang menakjubkan dari segi pemilihan diksi agar makna kata betul-betul bisa ditangkap dengan jelas dan spesifik. Kata “Shiyam” diulang dalam Al-Qur’an sebanyak sembilan kali dan semua maknanya menunjukkan puasa dalam konteks fiqh, yaitu menahan diri dari sesuatu yang mebatalkan proses puasa itu sendiri terhitung sejak masuk waktu Shubuh sampai datangnya waktu Maghrib. Orang yang makan minum, bersenggama, muntah, keluar sperma yang jika semuanya dilakukan dengan sengaja, maka batallah puasanya. Begitu juga haid, nifas dan murtad. Dalam konteks fiqh ini, yang dimaksudkan syara’ adalah “kewajiban dan proses” dan tidak bicara nilai dan hikmah dari puasa itu sendiri. Jika sebatas konteks fiqh, maka orang yang bepuasa namun tidak shalat, berpuasa tapi ghibah, namimah, main judi, tidur seharian tidak akan tersenuh oleh fiqh karena tidak ada hal-hal yang membatalkan proses puasa itu sendiri.
Selain Q.S. Al-Baqarah ayat 183, kata “Shiyam” juga ditemukan pada surah yang sama bahkan diulang dua kali pada ayat 187, An-Nisa 92, Al-Maidah 89 dan 95 dan Al-Mujaadilah 4. Sedangkan kata “Shaum” hanya ditemukan satu kali, yaitu pada Q.S. Maryam ayat 26. Kata “Shaum” pada ayat ini bukanlah dimaksudkan puasa dalam konteks fiqh. Shaum pada ayat ini adalah perintah yang ditujukan kepada Bunda Maryam Alaihas Salam untuk “puasa bicara” apabila kaumnya bertanya tentang status ayah dari bayi yang digendongnya.
فَكُلِى وَٱشْرَبِى وَقَرِّى عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ ٱلْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِىٓ إِنِّى نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ ٱلْيَوْمَ إِنسِيًّا
“Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar “shaum” (berpuasa) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (Q.S. Maryam : 26)
Bagaimana dengan Al-Hadis ?
Kita perhatikan perbedaannya sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
“Dari Abu HurairahRadhiyallahu Anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Berapa banyak orang yang ‘Shiyam” tidak mendapatkan pahalanya selain lapar, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan selain begadang saja.” ( HR. Ibn Majah)
Sedangkan untuk puasa yang mempunyai “value”, teksnya sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
_Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda: “Semua amalan bani Adam adalah untuknya kecuali “shaum”, sesungguhnya ia adalah untuk-Ku (Allah), dan Aku lah yang membalasnya, sungguh bau mulut orang yang puasa itu lebih wangi di sisi Allah dari pada harumnya minyak wangi.” (HR. Bukhari)
Ada juga redaksi lain dengan diksi ‘Shiyam”, namun yang dimaksud adalah shiyam yang dilakukan dengan beberapa syarat, berbeda dengan diksi ‘Shaum” yang disebutkan secara mutlak tanpa syarat, yaitu :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘anhu Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Shiyam” itu benteng, maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka katakanlah aku sedang puasa (ia mengulang ucapannya dua kali). Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang sedang puasa lebih harum di sisi Allah Ta’ala dari pada harumnya minyak misik, karena dia meninggalkan makanannya, minuman dan nafsu syahwatnya karena Aku. “Shiyam” itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan membalasnya dan setiap satu kebaikan dibalas dengan sepuiluh kebaikan yang serupa”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi).
Allah terbukti Al-Rauf. Andaikan saja diksi pada Q.S. Al-Baqarah ayat 183 adalah “Al-Shaum”, maka orang yang berpuasa tapi tidak menjaga liasannya, main judi, menipu dan maksiat qalnbu lainnya, maka puasa tersebut batal dan harus diqadha, Walahu A’lam !
Ridwan Shaleh, Al-Faqir
Recent Comments