Muallaf Center
INFORMASI | : | gomuslim.co.id |
TELEPON | : |

gomuslim.co.id- Selalu ada kisah dibalik datangnya hidayah bagi seorang muallaf. Tidak terkecuali mualaf yang satu ini. Namanya Steven Indra Widjaja. Siapa sangka, seorang yang sebelumnya begitu membenci justru terbalik menjadi mencintai. Awalnya begitu benci terhadap Islam, tapi sekarang justru menjadi salah satu ujung tombak dakwah Islam.
Kepada gomuslim, Steven bercerita bahwa awal mengenal Islam karena sebuah alasan yang begitu sederhana. Dia mengatakan bahwa pengalaman 17 tahun lalu saat memutuskan menjadi muallaf adalah karena rasa ingin tahu. “Ya awalnya iseng. Iseng pengentahuan tentang Islam, sampai akhirnya saya jatuh cinta setelah tahu lebih banyak tentang Islam,” ujar pria kelahiran Jakarta 14 Juli 1981 ini.
“Memang begitu. Saya ingin tahu lebih, curiousity,” tegas Steven. Ia mengaku, perjalanannya memeluk Islam tidaklah mudah. Seperti muallaf lainnya, Steven pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang-orang terdekatnya termasuk keluarga dan teman-temannya sendiri.
“Tantangan yang saya hadapi sama dan standard seperti dialami mualaf di Indonesia yang ditolak keluarga sampai di usir, dan beberapa di antaranya sampai mendapat kekerasan dari keluarganya. Sama seperti yang saya alami, namun saya tidak menyesalinya, karena ini sudah hidup yang memang ditakdirkan untuk saya,” kata Steven.
Sebelum memeluk Islam, Steven bercerita sejak kecil kedua orang tuanya sudah menyemai benih kebencian terhadap Islam padanya. Di usianya yang baru menginjak tahun kelima, Steven mulai banyak berbuat onar. Ia sengaja menyimpan tulang babi di atas makanan pembantunya yang beragama Islam.
Tak hanya itu, Steven kecil ingin sekali menaruh sesuatu di atas kepala orang muslim yang tengah sujud sewaktu mereka shalat, bahkan menendangnya. “Saya dulu benci banget sama Islam. Ya, pokoknya benci saja melihat orang Islam. Itu yang ada di kepala saya waktu itu. Pokoknya saya jahat banget,” kenang Steven.
Singkat cerita, suatu hari Steven mendatangi salah satu toko buku di Jakarta. Ia menemukan buku karangan Imam Ghazali tentang hadits dan periwayatannya. Buku yang mengulas hadist dan sejarah periwayatannya itu cukup menarik perhatian Steven. Ternyata banyak referensi dan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Awal dari sinilah Steven mulai mengetahui bahwa hadist-hadits yang selama ini dipelajarinya di Saint Michael’s College ternyata tidak diakui oleh umat Islam sendiri. Hadits-hadits yang dipelajarinya tersebut ternyata palsu. Dari sana kemudian Steven mulai mencari hadits-hadits yang sahih.
Keinginan Steven untuk mempelajari ajaran Islam tak hanya sampai di situ. Di sela-sela tugasnya sebagai seorang penganut Katolik, diam-diam Steven mulai mempelajari gerakan shalat.
Kegiatan mengamati orang yang shalat itu ia lakukan selepas menjalankan ritual ibadah Minggu di gereja Katedral, Jakarta. Tak ada yang mengetahui kegiatannya itu, kecuali seorang adik laki-lakinya. Namun, sang adik diam saja atas perilakunya itu.
“Ketika waktu shalat Dzuhur datang dan adzan berkumandang dari Masjid Istiqlal, kalung salib saya masukkan ke dalam baju, sepatu saya lepas dan titipkan. Kemudian, saya pinjam sandal tukang sapu kebun di Katedral. Setelah habis shalat, saya balik lagi mengenakan kalung salib dan kembali ke Katedral,” papar lulusan Fakultas Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini.
Aktivitasnya di mata sang adik itu, ia lakoni selama dua bulan. Dan, berkat kerja sama sang adik pula, tindakan yang ia lakukan tersebut tidak sampai ketahuan oleh ayahnya. Dari situ, lanjut Steven, ia baru sebatas mengetahui orang Islam itu shalat empat rakaat dan selama shalat diam semua.
Tahap berikutnya Steven mulai belajar shalat Maghrib di sebuah masjid di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Ketika itu, ia beserta keluarganya tinggal di wilayah tersebut. “Dari situ, saya mulai mengetahui ternyata ada juga shalat yang bacaannya keras. Kemudian, saya mulai mempelajari shalat-shalat apa saja yang bacaannya dikeraskan dan tidak,” tutur Steven.
Usai belajar shalat dzuhur dan maghrib, ia melanjutkan ke shalat Isya, Subuh, lalu Ashar. Kesemua gerakan dan bacaan shalat lima waktu tersebut ia pelajari dengan mengikuti apa yang dilakukan jama’ah shalat. Sampai tata cara berwudhu pun, menurut penuturannya, ia pelajari dan hafal dengan menirukan apa yang dilakukan oleh para jama’ah shalat.
Steven heran ada satu sistem komando dalam Islam yang bisa menggerakkan serentak umat Islam. Rupanya, hal itu adalah takbir dalam salat. “Satu kali takbir, semua takbir. Takbir lagi, rukuk semua, takbir lagi, sujud semua. Itu satu komando yang lintas gender, lintas generasi, lintas sosial, mau tukang sapu atau direktur sama aja, nggak ada yang memisahkan. Itu satu hal yang fantastik. Benar, saya dulu pengin tahu, kenapa bisa kaya gitu,” tutur dia.
Dalam keyakinan sebelumnya, belum ada sistem komando yang bisa menggerakkan 100 persen jemaatnya. “Ada yang nggak bisa ngajak orang sekaligus berdiri semuanya, 100 persen lho ya. Masih ada yang nyantai, leyeh-leyeh, ngobrol malahan,” kata dia.
Setelah mempelajari lebih dalam, dia mendapati bahwa aturan dalam Islam sangat jelas, mengatur kehidupan manusia hingga sedetail-detailnya, dari A sampai Z. Bahkan, dia juga mendapati bahwa Islam mengatur kehidupan setelah mati.
“Sama keteraturan dalam hidup, fikih, semua diatur. Mau makan diatur, makan pakai tangan kanan. Ini keteraturan yang dibuat hukum dalam Islam. Masuk WC kaki kiri, keluar WC kaki kanan. Hal simpel ini semua diatur dalam Islam. Islam mengatur seluruh manusia A-Z, sampai sudah mati pun diatur. Kita tahu amalan jariyah, ilmu bermanfaat, doa anak saleh, ini nggak putus-putus (pahalanya) setelah mati,” tutur Steven.
Setelah merasa mantap, Steven pun memutuskan untuk masuk Islam dengan dibantu oleh seorang teman bisnisnya bernama Harry, di Serang, Banten. Dihadapan Harry dan 4 orang temannya berikut salah seorang Ustadz, Steven mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian Steven pun menggunakan nama Indra Wibowo ash-Shiddiqi. Peristiwa itu terjadi sebelum datangnya bulan Ramadhan di tahun 2000.
Ujian berat pun tak luput dialami Steven setelah menjadi muallaf. Ia mengaku berjuang keras untuk tetap menjalani hidup dan mempertahankan keyakinan. “Alhamdulillah butuh perjuangan, mulai dari OB, tukang kuli panggul, kernet truck pasir, pembantu pembawa belanja dipasar, sales,” ungkap Sekretaris I Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) ini.
Pelan tapi pasti, kehidupan Steven pun lambat laun semakin baik. Bahkan, saat ini Steven telah manjadi kepala departemen di salah satu perusahaan riset internasional yang ada di Indonesia. Tak hanya itu, pada tahun 2003, dia mulai membangun jaringan mualaf di Yahoo groups. Kemudian pada 2004, Steven mulai dengan website agar lebih luas berkomunikasi di www.mualaf.com atau dikenal dengan Muallaf Center Indonesia (MCI).
“Seiring berjalannya waktu, maka mualaf center mulai menerima syahadat dimana awalnya syahadat di referensikan ke masjid terdekat, sampai sekarang, mualaf sepanjang 2016 berjumlah 2.854 orang, dan selama separuh dekade ini kami diijinkan Allah menuntun lebih dari 10 ribu orang bersyahadat,” ujar Direktur Operasional Mustika (Muslim Tionghoa dan Keluarga) ini.
Steven menjelaskan MCI ini mempunyai banyak misi dawaah di pedalaman. Menurutnya selama ini MCI lebih focus untuk mengembalikan kawasan pemurtadan menjadi kawasan muslim. “Alhamdlillah salah satu kawasan ada lebih dari 400 kepala keluarga kembali menjadi muslim di sepanjang 2015-2016,” ucapnya
Terkait isu-isu hangat yang saat ini terjadi, Steven tetap berkeyakinan Islam akan tetap kokoh meski ditempa berbagai ujian. “Allah akan menjaga Din ini, Allah akan menjaga Islam di hati hamba hambaNya, serusak apapun kafir membuat makar, Allah tetap akan menjaga Islam,” ujarnya.
Saat ini, Steven bekerja di sebuah perusahaan riset global yang memiliki cabang lebih di 100 negara dengan kantor 400 lebih. Dia menjabat sebagai department head di perusahaan yang berlokasi di Jakarta Selatan. “Alhamdulillah saya sudah 3 tahun lebih disini,” imbuhnya.
Komentar Terbaru