ULAMA BETAWI
Oleh: Ahmad Fadli HS, M.Si.
Penerbit: Manhalun Nasyi-in Press
Betawi kerapkali dijadikan bahan kajian dan diskusi yang menarik dari dulu hingga kini, karena diskursus mengenai Betawi mengandung estetika tersendiri. Topiknya pun beraneka warna dan selalu aktual serta faktual bahkan terkadang kontroversial, seperti kajian sosial politik dan kebudayaan Betawi.
Kendati demikian, corak keislaman dan sejarah sosial intelektual Islam di Betawi belum banyak dikaji, karena perhatian baru difokuskan kepada sejarah sosial, politik, keseniaan dan kebudayaan serta kepurbakalaan. Padahal sejarah sosial intelektual Islam di Betawi telah memiliki peran yang signifikan dalam perubahan di masyarakat Betawi. Para pelaku sejarah intelektual Islam di Betawi adalah para ulama Betawi pada abad ke 19 dan 20 yang menimba ilmu di Timur Tengah selama bertahun-tahun.
Setelah mereka menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan Madinah, sebagian besar mereka kembali ke Betawi. Di sinilah mereka menjadi penyebar utama tradisi intelektual keagamaan Islam di Makkah dan Madinah ke Betawi.
Penelitian ini mencoba menelusuri jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah pada abad ke-19 dan 20 serta upaya transmisi keagamaan di Betawi. Kajian ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan Madinah dan upaya reformasi yang dilakukan sekembalinya mereka ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada dimensi ruang dan waktu.
Penelitian ini juga mencoba menelusuri perkembangan Islam di Betawi mulai masa Jayakarta hingga Batavia dan menelusuri corak keberagamaan Islam di Betawi. Terlepas dari perdebatan asal usul komunitas etnis Betawi, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Betawi memiliki ketaatan yang fanatik terhadap ajaran Islam dan perasaan anti Barat yang kuat. Kuatnya pengaruh Islam dan sentimen anti Barat pada pertengahan abad ke-19 itu dapat disebabkan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka yang telah berhasil dalam memberikan pemahaman tentang Islam.
Islam dan Betawi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan sebutan “Betawi” hanya bisa digunakan oleh penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. Sedangkan penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen secara turun temurun biasanya disebut dengan daerah asalnya, seperti penduduk asli Jakarta yang beragama Kristen yang diduga keturunan Mardijkers di daerah Tugu Jakarta Utara disebut orang Tugu dan penduduk asli beragama Kristen di daerah Depok disebut orang Depok atau Belanda Depok. Penduduk asli Batavia saat itu kerapkali menyebut dirinya dengan Orang Selam yang agaknya merupakan pengucapan setempat untuk Islam. sebagaimana Srani untuk kata “Nasrani”.
Hamka menemukan bukti tentang kuatnya orang Betawi memegang agama Islam. Selama 350 tahun dijajah Belanda tetapi jarang sekali terdengar anak Betawi yang masuk Kristen. Kendati orang Betawi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan ilmu pengetahuan tetapi jika masuk Kristen adalah aib sekali. Hal itu menolak teori bahwa kemiskinan mudah menjadi kafir. Segala sesuatu telah diderita oleh orang Betawi kecuali menjadi kafir.
Ridwan Saidi berpendapat bahwa Islam memberi makna eksistensial akan keberadaan orang Betawi pada era penjajahan Belanda. Zikir, ratib, pembacaan manakib Syaikh Saman, maulid Barjanji serta Diba. Semuanya merupakan ekpresi pengagungan pada Asma Allah sekaligus pernyataan diri isyhadû bi annâ muslimûn (saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Islam). Suatu ekpresi teologis yang nyaris sepi dari politik, kendati demikian penjajah Belanda dibuat tidak berkutik.
Persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi’i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama’ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal. Oleh karenanya dapat dipahami bila organisasi Islam modernis dan Organisasi Islam yang berfaham Wahabi kurang mengakar di kalangan masyarakat Betawi karena organisasi tersebut kerapkali mengecam apa yang dinamakan TBC (tahayul, bid’ah dan khurafat). Kecaman tersebut dalam banyak hal tertuju pada budaya dan tradisi Betawi yang dalam beberapa hal bersentuhan dengan tahayul, bid’ah dan khurafat.
Deskripsi tentang kuatnya masyarakat Betawi dalam memegang teguh ajaran Islam dikarenakan oleh perkembangan dakwah Islam yang semakin meningkat terutama dengan munculnya sejumlah ulama-ulama Betawi terkemuka dalam memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ulama-ulama Betawi tersebut memiliki jaringan keilmuan di Timur Tengah karena menimba ilmu di beberapa negara Timur Tengah sehingga mereka melakukan penyebaran keislaman di Nusantara terutama di Betawi.
Azra mengungkapkan bahwa penyebaran keilmuan Islam di Nusantara sampai abad ke-19 bersumber dari ulama yang terlibat jaringan intelektual dengan ulama Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah (Haramain). Penulis berkeinginan untuk mengembangkan teori yang telah dikemukakan oleh Azra tersebut.
Keilmuan Islam yang berlangsung di pusat dunia Islam (Haramain) saat itu memiliki karakteristik yang jelas, yaitu gagasan pembaharuan sebagai rekontruksi sosio-moral masyarakat Muslim. Pembaharuan ini menekankan pada ketaatan terhadap syariat atas tasawuf dari Masyarkat Muslim. Penerimaan ulama Haramain terhadap tasawuf kala itu adalah tasawuf yang telah diperbaharui dan sejalan dengan tuntutan syari’at sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Ghazali.
Penyebaran pembaharuan keilmuan Islam di Betawi abad ke-19 dan 20 merupakan proses penerusan ulama Nusantara yang memiliki hubungan intelektual dengan ulama Makkah abad sebelumnya. Mereka telah menjalin hubungan erat dengan sejumlah tokoh penting di pusat keilmuan Makkah. Keterlibatan ulama Nusantara dalam jaringan ulama Haramain dimulai pada paruh kedua abad ke-17 yang dimulai oleh Nuruddin ar-Raniri (w. 1069 H/1658 M), Abdur Rauf Singkel (1035-1105 H/1615-1693 M) dan Yusuf al-Maqassari (1626-1699). Kemudian disusul oleh ulama abad ke-18 yaitu Abdul Shomad al-Palimbani (1704-1788), Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), Dawud bin Abdullah al-Fatani (1718-1847), Muhammad Nafis al-Banjari (1735-1812) dan Abdurrahman al-Mashri al-Batawi.
Pembaharuan keagamaan secara langsung dari Makkah ke Betawi telah terjadi pada abad ke-19 dan 20. Bahkan pada abad ke-18 sudah ada ulama Betawi yang bernama Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi yang menimba ilmu di Makkah. Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah teman karib Abdul Shamad Al-Palimbani dari Sumatera Selatan (1116/1704-1203/1789) dan Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122/1710-1227/1812) dari Kalimantan Selatan. Kendati informasi mengenai Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi ini sangat minim, tetapi peran dan kiprahnya menunjukkan bahwa dia terlibat aktif secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama terpenting di Nusantara pada abad ke 18.
Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka. Mereka tetap memutuskan pergi ke Kairo tetapi hanya untuk berkunjung bukan untuk belajar. Mungkin sebagai tanda hubungan baik mereka dengan ‘Atha’ Allah dan kunjungan mereka ke Kairo sehingga Abdurahman Al-Batawi menambahkan laqab “Al-Mashri” pada namanya.
Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi bersama Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahab Al-Bugisi kembali ke Nusantara pada 1186/1773. Sebelum ke Banjarmasin, atas permintaan Al-Batawi, Muhammad Arsyad tinggal di Batavia selama dua bulan. Kendati dia tinggal di Batavia hanya untuk waktu yang relatif singkat tetapi dia mampu melakukan pembaruan penting bagi kaum Muslim di Batavia. Beberapa masjid di Batavia dibetulkan arah kiblatnya. Menurut perhitungannya, kiblat masjid-masjid di Jembatan Lima (Masjid Kampung Sawah/Masjid Al-Mansur) dan Pekojan, tidak diarahkan secara benar menuju Ka’bah dan karenanya harus dirubah. Kontroversipun bermunculan di kalangan para pemimpin muslim di Batavia sehingga gubernur jenderal Belanda memanggil Muhammad Arsyad untuk mengklarifikasi masalah itu. Muhammad Arsyad menjelaskan perhitungan secara matematis sehingga membuat gubernur terkesan dan memberikan hadiah kepadanya. Di kemudian hari, pembetulan arah kiblat itu juga diusulkan Abdurahman Al-Batawi di Palembang ketika dia mengadakan perjalanan ke sana sekitar tahun 1800 yang juga menimbulkan kontroversi di sana.
Ulama-ulama Betawi pada abad ke 19 pasca Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi adalah Syaikh Junaedi Al-Batawi. Menurut C. Snouck Hurgronje, di Makkah pada perempatan ketiga abad ke 19 ada “sesepuh” (nestor) para profesor Jawi yang berasal dari Betawi yang bernama Junaed yang sudah menetap selama 50 tahun. Ketika berkunjung ke Makkah—menurut Hurgronje—ia telah melakukan kajian-kajian mendalam di negeri asalnya tetapi tidak pernah kembali ke negerinya. Jika Junaed sudah tiba di Makkah 50 tahun yang lalu, maka berarti ia sudah tiba di Makkah di awal abad ke 19 M. Junaed memiliki banyak murid di antaranya adalah KH. Mujtaba bin Ahmad atau dikenal dengan Guru Mujtaba. Jika Guru Mujtaba akhirnya kembali ke Betawi pada 1904, Syaikh Junaed Al-Batawi tetap tinggal di sana. Khabarnya Junaed meninggal dunia di tanah suci akhir abad ke 19. Kendati tidak diketahui tanggal yang pasti mengenai wafatnya, Junaed telah mendidik murid-muridnya asal Betawi menjadi ulama-ulama besar. Sayang sekali sampai sekarang tidak diketahui di mana anak dan keturunan Junaed berada sekarang.
Ulama Betawi berikutnya adalah Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya (1822-1914). Ayahnya adalah Sayyid Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Syaikh Abdurahman Al-Mashri Al-Batawi.
Sayyid Usman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji kemudian belajar di sana selama 7 tahun. Dia belajar kepada ayahnya dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Pada tahun 1848 Sayyid Usman berangkat ke Hadramaut dan menimba ilmu kepada Syaikh Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Habib Alwi bin Saggaf Al-Jufri dan Habib Hasan bin Shaleh Al-Bahar. Untuk memperdalam bermacam-macam ilmu, dia belajar juga ke Mesir, Tunis, Al Jazair, Istambul, Persia dan Syiria.
Di antara karya Sayyid Usman yang terpenting adalah Tawdih al-Adillat ‘ala Syurûth Syuhud al-Ahillat. Latar belakang kitab ini adalah karena pada tahun 1882 umat Islam di Jakarta terbagi dua dalam menentukan awal puasa Ramadhan. Sebagian mulai puasa Ramadhan pada hari Minggu dan sebagian mulai puasa pada hari Senin. Banyak karya-karya Sayyid Usman yang masih dibaca oleh masyarakat Betawi, di antaranya adalah Sifat Dua Puluh. Karena keilmuan Sayyid Usman yang memadai maka diangkatlah dia menjadi mufti Betawi oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Di antara murid Sayyid Usman adalah KH Abdul Muhgni Kuningan atau biasa dipanggil Guru Mugni (1860-1935). Guru Mugni terhitung ulama yang paling terkemuka di wilayah Selatan. Dalam usia 16 tahun, ia dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun. Di sana Guru Mugni berguru kepada banyak ulama, antara lain Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Sa’id Al-Yamani, Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatha.
Selama di tanah suci, ia berteman dengan sejumlah orang Betawi yang kelak menjadi ulama Besar, seperti KH. Marzuqi (Guru Marzuqi) yang telah menerima ijazah tarekat Al-Alawiyah dari Muhammad Umar Syatha. Guru Mughni memiliki banyak murid yang telah menjadi ulama besar, di antaranya adalah Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH. Mughni Lenteng Agung, Guru Naim Cipete, KH Hamim dan KH Raisin Cipete, Guru Ilyas Karet dan Guru Ismail Pedurenan (dipanggil Guru Mael, mertua KH Ahmad Junaidi Menteng Atas).
Ulama Betawi terkemuka lainnya adalah Habib Ali Abdurrahman Al-Habsy (1869-1968). Habib Ali ditinggal wafat ayahnya, Habib Abdurrahman ketika ia berusia 12 tahun. Ayahnya berwasiat kepada istrinya, Nyai Salmah—seorang putri Betawi asli yang berasal dari Mester Pulo (Jatinegara sekarang)—agar Habib Ali dikirim belajar ke Hadramaut dan Makkah. Habib Ali akhirnya diberangkatkan ke Hadramaut ketika umurnya masih 12 tahun. Di Hadramaut Habib Ali berguru kepada Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Habib Abdurahman bin Muhammad Al-Masyhur dan lain sebagainya. Setelah kembali dari Hadramaut dan Makkah, Habib Ali kembali ke Indonesia dan menetap di Jakarta bersama ibunya, Nyai Salmah.
Sejak masih berusia 20-an tahun Habib Ali mendirikan majelis taklim. Sebelum di Kwitang, majelisnya berlangsung di Tanah Abang. Ia kemudian mendirikan Masjid Al-Riyadh di Kwitang dan di dekatnya didirikan Madarasah ‘Unwanul Falah’.
Banyak ulama Betawi yang merupakan murid dari Habib Ali dan dididik di Madrasah ‘Unwanul Falah yang menerapkan sistem pendidikan modern. Di antara muridnya yang sangat tekun mengikuti dan menjadi pembicara di majelisnya adalah adalah KH Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Fathullah Harun (1913-1989) dan KH Tohir Rohili (1920-1999). Habib Ali pun mempersaudarakan mereka bertiga dengan putranya, Habib Muhammad Al-Habsyi. Dari KH. Abdullah Syafi’i dan KH. Tohir Rohili berdiri dan berkembang pesat majelis taklim As-Syafi’iyah dan At-Tahiriyah. Sedangkan KH. Fathullah Harun menjadi ulama Betawi ternama di Malaysia.
Hubungan antara Habib Ali dengan murid-muridnya cukup menarik dan romantis. Pada saat pemilu 1955, Habib Ali kendati tidak memperlihatkan berpihak pada salah satu partai dan tidak pernah mengemukakan pilihannya pada orang lain tetapi ia lebih dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU mengadakan Muktamar di Gedung Olahraga Lapangan Ikada (Monas) Jakarta, Habib Ali diminta membaca doa. Ia juga banyak memiliki murid-murid orang-orang NU, termasuk Ketua Umumnya saat itu, KH Idham Khalid yang kerapkali datang ke masjidnya.
Murid-murid Habib Ali yang lain KH. Ahmad Thabrani Paseban (1901-1985), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Zayadi Muhajir (1918-1994), KH. Muhajirin (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006), KH. Nahrawi Abdul Salam (1931-1999), KH. Abdurrazaq Makmun, KH. Ismail dan lain sebagainya.
Ulama Betawi dari wilayah Timur yang paling berpengaruh adalah KH Ahmad Marzuqi yang akrab dipanggil Guru Marzuqi (1293-1352 H/1876-1934 M). Ayahnya bernama Ahmad Mirshad adalah keturunan keempat dari Sultan Laksana Melayang, salah seorang Pangeran dari kesultanan Melayu Pattani di Muangthai Selatan. Ketika berusia 16 tahun, Marzuqi berangkat ke Makkah dan menetap di sana selama tujuh tahun. Di Makkah ia menimba ilmu kepada ulama terkemuka seperti Syaikh Ali al-Maliki, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Umar Sumbawa, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan banyak lagi. Guru Marzuqi di Makkah juga mendalami tasawuf dan memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-Alawiyah dari Syaikh Muhammad Umar Syatha yang memperoleh silsilah tarekatnya dari Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
Setelah kembali ke Betawi, ia diminta oleh Sayid Usman Banahsan untuk mengajar di masjid Rawabangke (Rawa Bunga) selama lima tahun kemudian pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah Guru Marzuqi merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Di antara para murid-muridnya yang kelak menjadi ulama besar adalah KH Abdul Jalil Tambun, KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Tambih Bekasi (1907-1977), KH. Abdul Hadi Pisangan (1909-1998), KH Muhtar Thabrani Kaliabang Bekasi (1912-1971), KH. Muhammad Na’im Cipete (1912-1973)), KH Abdullah Syafi’i Kampung Bali Matraman, KH Nur Ali Bekasi (1913-1992) dan KH Aspas Cilincing. Di antara putera Guru Marzuqi yang melajutkan perjuangannya adalah KH Abdul Malik (Guru Malik), KH Muhammad Baqir Rawabangke, KH Abdul Mu’thi Buaran Bekasi dan KH Abdul Ghofur Jatibening Bekasi.
Dari pusat kota Jakarta tepatnya di Kampung Sawah Jembatan Lima muncul ulama Betawi terkemuka yang bernama KH. Muhammad Mansur atau akrab dipanggil Guru Mansur (1878-1967). Ia dan Guru Mughni disebut oleh masyarakat Betawi sebagai “Paku Jakarta” Hal ini membuktikan bahwa keulamaan dan ketokohan mereka tidak diragukan lagi.
Guru Mansur lahir pada tahun 1878 di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat yang dahulu masih termasuk kawasan hunian orang-orang asal Kepulauan Banda. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid bin Damiri bin Imam Habib bin Abdul Muhit bin Pangeran Tjakra Jaya (Tumenggung Mataram). Abdul Muhit adalah orang alim yang membangun Masjid Kuno di Kampung Sawah pada tahun 1717 M (sekarang bernama Masjid Al-Mansur). Guru Mansur merupakan keponakan dari Syaikh Junaid Al- Batawi karena KH. Abdul Hamid, ayah Guru Mansur adalah adik kandung Syaikh Junaid Al-Batawi. Guru Mansur pertama kali belajar agama kepada ayahnya dan sesudah ayahnya meninggal, ia belajar dari kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul Hamid dan kakak misannya yang bernama KH Thabrani bin Abdul Mugni. Selain kepada mereka, Guru Mansur juga pernah belajar kepada seorang ulama dari Meester Cornelis (Jatinegara) bernama H. Mujtaba bin Ahmad. Di Makkah ia juga memperdalam ilmunya dengan Tuan Guru Umar Sumbawa yang kelak mengangkatnya sebagai Katib (sekretaris) karena tertarik pada tulisan Guru Mansur yang rapi.
Setelah menimba ilmu di Makkah selama empat tahun, Guru Mansur kembali ke tanah air melalui beberapa negara yang disinggahinya, seperti Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Setelah sampai di tanah air, Guru Mansur membantu ayahnya mengajar di madrasah Kampung Sawah (sekarang Chairiyah Mansuriyah). Mulai tahun 1907, ia mengajar di Jamiatul Khair bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Ahmad Surkati dan KH Ahmad Dahlan.
Rasa nasionalisme Guru Mansur tidak diragukan lagi. Hal ini terbukti ketika Jakarta berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1948, Guru Mansur terpaksa harus berurusan dengan Hoofd Bureau Kepolisian Gambir karena ulahnya yang memasang bendera merah putih di menara Masjid Kampung Sawah. Kendati Guru Mansur berada di bawah ancaman senjata Nica, ia tetap mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di menara mesjid itu. Guru Mansur pun berujar “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”.
Selama hidupnya, Guru Mansur telah menghasilkan beberapa karya ilmiah, di antaranya Sullamun nairain, Khulâsatul jadawil, Kaifiyatul amal ijtima, khusûf wal kusûf dan lain sebagainnya. Di antara murid-muridnya yang kemudian menjadi ulama adalah KH. Muhammad Amin Kalibata (1901-1965), KH. Muhammad Radjiun Kebon Sirih (1916-1982) yang pernah menjadi ketua Masjid Pekojan dan KH Muhammad yang mendalami ilmu Falaq dan kemudian diangkat menantu dan meneruskan usaha mertuanya mengembangkan Madrasah Al-Mansuriyyah (yang masih berdiri hingga kini). Ahli falaq lain didikannya yang cukup berhasil adalah KH Muhajirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), Pimpinan Perguruan Islam An-Nida, Bekasi.
Masih banyak para ulama Betawi yang memiliki jaringan ulama ke Makkah, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti KH. Mahmud Ramli Menteng (1866-1959), KH. Ahmad Kholid Gondangdia (1874-1946), KH. Abdul Madjid Pekojan (1887-1947), KH. Najihun (1897-1984), KH. Muhammad Amin (1901-1965), KH. Ahmad Thabrani (1901-1985), KH. Muhammad Tambih (1907-1977), KH. Ali Alhamidi (1909-1985), KH. Abdul Hadi (1909-1998), KH. Abdullah Syafi’i (1910-1985), KH. Muchtar Thabrani (1912-1971), KH. Muhammad Na’im (1912-1973), KH. Nur Ali Bekasi (1913-1992), KH. Hasbiyallah (1913-1982), KH. Muhammad Sasi Cililitan (w. 1992), KH. Fathullah Harun (1913-1989), KH. Mursyidi Klender (1915-2003), KH. Muhammad Radjiun (1916-1982), KH. Zayadi Muhajir Klender (1918-1994), KH. Thohir Rohili Bukit Duri (1920-1999), KH. Muhadjirin Amsar Ad-Dary (1921-2003), KH. Abdul Rasyid Ramli (1922-2006), KH. Abdul Hannan Sa’id (1923-2000), KH. Rahmatullah Shidiq (1923-1979), KH. Syafi’i Hadzami (1931-2006) dan Dr. KH. Ahmad Nahrawi Abdul Salam Al-Indunisi (1931-1999) yang akan diuraikan biografinya dalam bab tersendiri di buku ini.
Ulama-ulama Betawi yang disebutkan di atas adalah ulama terkemuka dari Betawi yang pernah menetap dan menuntut ilmu di Timur Tengah terutama di Makkah dan Madinah pada abad ke 19 dan 20 atau berguru kepada Ulama Betawi yang pernah menuntut ilmu di Timur Tengah sehingga pantas diperkirakan bahwa ada jaringan ulama Betawi yang meneruskan pembaharuan keagamaan ulama Timur Tengah dengan kitab-kitab karya mereka. Kitab-kitab kuning yang dikarang oleh ulama Betawi atau yang diajarkan oleh ulama Betawi kepada para murid-muridnya mencerminkan bagaimana ulama Betawi berhubungan dengan tradisi ulama Timur Tengah. Muatan muatan kitab kuning tersebut mengkaitkan pada tradisi ortodoks (klasik) universal yaitu aqidah Al-Asy’ari, fiqih As-Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali.
Fenomena ulama Betawi yang belajar di Timur Tengah pada abad ke-19 dan ke-20 membuktikan bahwa teori Azra dan Martin van Bruinessen tentang adanya hubungan ulama Makkah dan Nusantara juga terjadi di Betawi. Sehingga dirasa penting melakukan penelitian untuk menggungkapkan jaringan ulama Betawi yang belajar di Makkah serta bagaimana subtansi pengajaran pembaharuan yang disebarkan pada abad ke-19 dan ke-20.
Resensi diambil dari: http://www.pmii.or.id/produk-a-kreatif/buku/225-ulama-betawi-studi-tentang-jaringan-ulama-betawi-dan-kontribusinya-terhadap-perkembangan-islam-abad-ke-19-dan-20.html
Recent Comments